Saturday, January 5, 2008

Batik Banyumasan

Batik Banyumasan

Banyumas-Ratusan plat atau cap jonas batik Banyumasan berbagai corak, berserakan di sebuah gudang tua berukuran 4 meter x 4 meter. Plat batik itu tampak tak terawat. Relief plat semakin dekil tertutup debu, seolah memberi isyarat corak/motif batik Banyumasan akan hilang. Dari 220 plat, sepuluh di antaranya terbuat dari timah yang belum sempat dipakai karena usaha batik Banyumasan keburu bangkrut.

Nasib plat batik itu tak berbeda dengan pemiliknya, Haji Munarsi (65), warga Desa Sokaraja Lor, Kecamatan Sokaraja, Kabupaten Banyumas Jawa Tengah yang pernah menjadi salah satu sentra perajin batik Banyumasan. Ia tak berdaya menghadapi perkembangan zaman, seperti halnya kehidupan industri batik di daerah ini yang kian pudar.

Industri kerajinan rakyat, batik Banyumasan pernah mencapai masa jaya. Sekitar tahun 1965-1970-an di Banyumas terdapat 105 pengusaha dan perajin batik. Usaha ini pernah menyerap 5.000 - 6.000 pengobeng atau tenaga kerja pembatik. Selain Sokaraja, sentra kerajinan batik Banyumasan ada di Kota Kecamatan Banyumas dan Purwokerto.

Dalam waktu sekitar 25 tahun, kerajinan batik Banyumasan nyaris punah. Tak ada lagi sentra kerajinan batik, meski masih ada produk batik tertentu yang menunjukkan keberadaannya. Setidaknya masih ada yang peduli di tengah persaingan dengan batik cap (printing) yang lebih inovatif, dari segi corak, motif, bahan baku yang tak sekadar kain mori, proses pembuatan, sampai tata warna. Sepuluh tahun silam, masih tercatat 24 pengusaha/perajin mencoba bertahan memproduksi batik Banyumasan.

DI Purwokerto, dari puluhan pengusaha/perajin batik, tinggal empat orang yang mencoba eksis guna memenuhi permintaan pembeli tradisional. Di Sokaraja, dari 65 pengusaha batik tinggal delapan perajin yang bertahan dengan batik jonas. Sedang di Kota Banyumas yang tahun 1970 an terkenal dengan produk batik Banyumasan Kosiankay, tinggal 12 perajin mampu bertahan hidup.

Sejak dekade 1990-an, dunia perbatikan Ba-nyumasan sudah bisa disebut habis. Dari puluhan, bahkan ratusan, perajin hanya tinggal 15 pengusaha kecil atau perajin yang mampu bertahan. Sekitar 85 persen gulung tikar. Kini di Purwokerto hanya dua pengusaha yang bertahan. Demikian pula di Kota Banyumas tinggal empat pengusaha dan di Sokaraja masih sembilan pengusaha yang masih bertahan untuk melestarikan batik Banyumasan.

"Saat ini saya sudah mulai ancang-ancang untuk banting stir. Kalau bisa akan alih usaha, " ujar Haji Munarsi yang mengesankan mulai putus asa menghadapi kenyataan pahit ini. "Sayang memang, kalau meninggalkan begitu saja usaha yang pernah membuat terkenal. Tapi, ya, apa boleh buat".

Merintis usaha batik sejak tahun 1950-an dengan modal Rp 100, pengusaha dengan anak tujuh ini pernah berjaya. Usahanya berkembang dan mampu memperkerjakan 120 tenaga kerja. Itu terjadi terutama sejak batiknya bisa menembus pasar Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, dan beberapa kota besar di Sumatera serta Kalimantan.

Bahkan batiknya mampu bersaing di pusat batik Yogyakarta atau Solo. Setiap minggu, puluhan kodi batik berbagai corak dan kualitas terserap ke berbagai kota besar. Pemasaran batik tulis Banyumasan, menurut Munarsi, pada waktu itu tak pernah kesulitan. Pesanan datang jauh sebelum batik selesai diproses.

Semua itu ceritera masa lalu. Dalam beberapa tahun mendatang, batik Banyumasan akan tinggal kenangan. Bahkan, jika tak waspada, kenangan itu bisa pupus karena ulah mereka yang tak bertanggung jawab.

Tiga bulan lalu misalnya, empat lembar kain batik asli Banyumasan (jonas) berusia puluhan tahun, raib dari tempat penyimpanan di Gedung Persatuan Batik Indonesia (Perbain) Banyumasan, Sokaraja. Sejak itu, Perbain Banyumas tidak lagi memiliki kain batik jonas kebanggaan masyarakat Banyumas. Padahal batik itu sering dijadikan bahan penelitian oleh pemerhati batik Indonesia maupun mancanegara.


Dari segi kualitas, batik Banyumasan tidak kalah dibanding batik Yogya atau Solo misalnya, kalau tidak boleh disebut lebih unggul. "Berbeda dengan batik Solo atau Yogya, bagian dalam maupun luar batik Banyumas sama. Proses pembuatan maupun pewarnaannya lebih lama," ujar Ny Djawahir.


Kini, batik Banyumasan yang sangat dominan dengan warna hitam, cokelat tua dan kuning keemasan dan seolah punya daya magis, mulai kurang disukai generasi muda. Pemasaran jonas, kini tinggal tergantung penggemar tradisional yang makin lama makin berkurang. "Jangankan menjadi pembatik, anak muda memakainya saja tak suka," ujar Ny Djawahir, warga Sokaraja yang kini masih menerima pesanan batik Banyumasan.

Selain pemasaran yang mulai seret, tenaga pembatik juga mulai jarang. Ini disebabkan upah membatik yang sangat rendah. Oleh sebab itu, kaum wanita muda usia di Banyumas, lebih memilih jadi TKI di mancanegara dibanding ngobeng pada perusahaan batik. Kaum pria menganggur atau menunggu kiriman istri dari rantau.


Upah membatik memang relatif rendah. Menurut Ny Djawahir, satu set batik sarimbit (terdiri dari bahan kain, baju, dan selendang) seharga Rp 300.000, ongkos membatik, pewarnaan sampai jadi, hanya Rp 30.000 sampai Rp 40.000.

Untuk batik biasa, mulai dari proses membatik, pewarnaan (menyoga), mengerok, mbabar hingga menjadi kain, menurut H Munarsi ongkosnya Rp 7.000 - Rp 8.000. Sedang upah pekerja (pembatik) untuk batik tulis berkisar Rp 900 - Rp 1.200/lembar. Bahkan, upah pekerja batik cap lebih rendah. Upah dibayar sesuai tingkat kesulitan dan motif batik.

Oleh sebab itu, bisa dihitung upah yang diperoleh pembatik sehari jika satu set batik sarimbit misalnya, dikerjakan satu - dua minggu. Meski pekerjaan itu dilakukan sebagai sambilan, secara ekonomis kerja itu tidak menarik lagi.

"Karena itu, kalaupun banyak yang berminat, kami tidak mungkin bisa memenuhi permintaan. Lihat saja ini, sudah beberapa minggu belum bisa diselesaikan," ungkap Ny Djawahir.

Kalau kini ada yang masih mau membatik, itu tak lebih karena hubungan yang telah lama terjalin dengan pengusaha. Hubungan pengobeng dengan pengusaha lebih bersifat kekeluargaan, seolah membatik untuk digunakan oleh pengusaha. Itu pun hasilnya tak sebagus dulu, karena pengobeng sudah enggan bersusah payah mengerjakan motif Banyumasan yang rumit.

selain itu, penyebab merosotnya batik tradisional, menurut pemerhati batik Banyumasan dari Unsoed (Universitas Soedirman) Purwokerto, Prof Teguh Djiwanto, antara lain karena perusahaan batik di Banyumas umumnya perusahaan keluarga. Karena itu, ungkap Guru Besar Fakultas Ekonomi Unsoed itu, mereka sangat lemah dalam permodalan maupun organisasi.

Hampir 80 persen perusahaan batik di Banyumas dikembangkan dan dikelola turun-temurun (warisan). Dalam pengertian lain mereka hanya sekadar meneruskan usaha yang dirintis orangtuanya. Bukan karena keinginan atau inisiatif sendiri.

Persaingan dengan batik printing yang mulai diintrodusir sejak tahun 1970-an juga menjadi penyebab menurunnya batik Banyumasan. Padahal, motif batik Banyumasan tergolong kaya. Menurut catatan Prof Teguh Djiwanto, terdapat 110 motif atau corak batik Banyumasan, dan 43 di antaranya adalah motif yang sangat disukai.

Karena itu, harapan satu-satunya untuk memulihkan kejayaan batik Banyumasan terpulang pada orang Banyumas. Barangkali ungkapan Serulingmas yang dikumandangkan tokoh Banyumas di Jakarta beberapa tahun lalu, bisa dijadikan gebrakan. Dengan semangat Serulingmas yang artinya seruan "eling Banyumas", semua warga Banyumas bertekad ikut mengembangkan kembali batik Banyumasan. (nts/dth)

Sumber: Kompas 7 Januari 1997

No comments: